|
|
|
MAKALAH
SEJARAH INDONESIA
ISMI RIYANI
|
|
|
|
PEMBIMBING :
MEGAWATI, S.Pd
SMA
NEGERI 3 BUKITTINGGI
|
|
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya sampaikan
kepada Allah SWT karena atas Rahmat dan RidhaNya, saya dapat
menyelesaikan tugas makalah yang Insya Allah akan bermanfaat
bagi saya sebagai penulis, serta teman teman, bapak/ibu guru yang membaca makalah saya ini.
Saya sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung,
memberi saran, dan masukan–masukannya untuk kelancaran pembuatan makalah ini.
Khususnya kepada ibu Megawati, S. Pd, yang sangat berperan dalam pengarahan
pembuatan proposal usaha ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .....................................................................................................................
1
Daftar Isi ................................................................................................................................
2
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang .................................................................................................................
3
B. Rumusan Masalah
............................................................................................................
3
C. Tujuan ..............................................................................................................................
3
Bab II Penjelasan
A.
Dampak
Pendudukan Jepang Di Indonesia
....................................................................... 4
B. Janji Kemerdekaan Yang Diberikan Jepang Kepada Indonesia
......................................... 7
C. Terbentuknya PPKI .........................................................................................................
8
D. Jepang Kalah Dari Sekutu
...............................................................................................
8
E. Proses Penculikan Yang Terjadi Terhadap Soekarno-Hatta ..............................................10
F. Perumusan Teks Proklamasi Hingga Pagi
..................................................................... ...11
G. Pembacaan Proklamasi
..................................................................................................
13
H. Makna Proklamasi Indonesia
.........................................................................................
14
BAB III Penutup
- Kesimpulan
.....................................................................................................................
15
- Saran
..............................................................................................................................
15
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................
15
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dikarenakan salah satu Kompetensi Dasar Sejarah untuk kelas 11 Semester 2
adalah Peristiwa Proklamasi Indonesia. Dan juga untuk menganalisis peristiwa
proklamasi kemerdekaan dan maknanya. Serta, menalar peristiwa proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Maka saya membuat makalah ini dan semoga
bermanfaat bagi yang membacanya.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana dampak
pendudukan Jepang di Indonesia?
- Bagaimana janji
kemerdekaan yang diberikan Jepang kepada Indonesia?
- Bagaimana terbentuknya
PPKI?
- Bagaimana Jepang kalah
dari sekutu?
- Bagaimana proses
penculikan yang terjadi terhadap soekarno-hatta?
- Bagaimana perumusan
teks proklamasi hingga pagi?
- Bagaimana pembacaan
proklamasi?
- Bagaimana makna dari
proklamasi Indonesia?
- Tujuan
- Mengetahui dampak pendudukan
Jepang di Indonesia.
- Mengetahui janji
kemerdekaan yang diberikan Jepang kepada Indonesia.
- Mengetahui
terbentuknya PPKI.
- Mengetahui Jepang
kalah dari sekutu.
- Mengetahui proses
penculikan yang terjadi terhadap soekarno-hatta.
- Mengetahui perumusan
teks proklamasi hingga pagi.
- Mengetahui pembacaan
proklamasi.
- Mengetahui makna
proklamasi Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dampak pendudukan Jepang di Indonesia
a. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Jepang melakukan kebijakan dengan melarang penggunaan bahasa Belanda dan mewajibkan penggunaan bahasa Jepang. Struktur pemerintahan dibuat sesuai dengan keinginan Jepang,
misalnya desa dengan Ku,kecamatan dengan
So,kawedanan dengan Gun, kotapraja dengan Syi, kabupaten dengan Ken, dan karesidenan
dengan Syu. Setiap upacara bendera dilakukan penghormatan kearah Tokyo dengan membungkukkan badan 90 derajat
yang ditujukan pada Kaisar
Jepang Tenno Heika.
Seperti telah diterangkan di atas bahwa Jepang juga membentuk
pemerintahan militer dengan angkatan
darat dan angkatan laut. Angkatan darat yang meliputi Jawa-Madura
berpusat di Batavia.
Sementara itu di Sumatera berpusat di Bukittinggi, angkatan lautnya membawahi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian, sebagai pusatnya
di Ujungpandang.
Pemerintahan itu berada dibawah pimpinan
Panglima Tertinggi
Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di
Dalat (Vietnam).
Jepang juga
membentuk organisasi-organisasi dengan maksud sebagai
alat propaganda, seperti gerakan
Tiga A
dan Gerakan
Putera,
tetapi
gerakan tersebut gagal dan dimanfaatkan oleh kaum pergerakan sebagai wadah untuk
pergerakan
nasional. Tujuan utama pemerintah
Jepang
adalah menghapuskan pengaruh
Barat dan menggalang masyarakat agar memihak Jepang. Pemerintah Jepang
juga menjanjikan kemerdekaan bagi
bangsa Indonesia yang
diucapkan
oleh
PM Tojo dalam kunjungannya ke Indonesia
pada September
1943.
Kebijakan politik Jepang yang sangat
keras itu membangkitkan semangat
perjuangan rakyat Indonesia
terutama kaum nasionalis untuk segera mewujudkan
cita-cita mereka, yaitu
Indonesia merdeka.
b.
Keadaan Sosial-Budaya dan
Ekonomi
Untuk
membiayai Perang Pasifik, Jepang mengerahkan
semua tenaga
kerja dari Indonesia. Mereka dikerahkan untuk
membuat benteng-benteng
pertahanan. Mula-mula tenaga kerja
dikerahkan dari Pulau Jawa yang padat penduduknya.
Kemudian di kota-kota
dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda.
Propaganda
yang kuat itu
menarik pemuda-
pemuda untuk bergabung dengan sukarela. Pengerahan tenaga
kerja yang mulanya sukarela lama-lama menjadi paksaan. Desa-desa diwajibkan
untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa.
Panitia pengerahan disebut dengan Romukyokai, yang ada disetiap daerah.
Para pekerja romusa itu diperlakukan
dengan kasar dan kejam. Mereka tidak dijamin kehidupannya, kesehatan dan makan
tidak
diperhatikan. Banyak
pekerja romusa
yang
jatuh
sakit
dan
meninggal. Untuk mengembalikan
citranya, Jepang mengadakan propaganda dengan
menyebut pekerja romusa sebagai “pahlawan pekerja” atau “prajurit ekonomi”. Mereka digambarkan
sebagai sosok yang suci
dalam menjalankan tugasnya.
Para pekerja romusa itu juga dikirim
ke Birma, Muangthai, Vietnam,
Serawak, dan Malaya.
Saat itu kondisi masyarakat menyedihkan. Bahan makanan sulit didapat akibat
banyak petani yang
menjadi pekerja romusa. Gelandangan di
kota- kota besar
seperti
Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Semarang semakin
tumbuh sumbur. Tidak jarang mereka mati kelaparan di
jalanan atau di bawah jembatan.
Penyakit
kudis
menjangkiti masyarakat.
Pasar gelap
tumbuh di kota-kota besar. Barang-barang keperluan sulit didapatkan
dan semakin sedikit jumlahnya. Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami
inflasi yang
parah. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka.
Obat-obatan juga sangat sulit
didapatkan.
Semua objek vital dan alat-alat
produksi dikuasai
Jepang dan diawasi
sangat ketat. Pemerintah
Jepang
mengeluarkan peraturan untuk menjalankan
perekonomian.
Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya
oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan
yang dirusak dan diganti tanamannya untuk keperluan biaya perang. Rakyat
dilarang menanam tebu
dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani
pabrik gula adalah
Meiji Seito Kaisya.
Masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pekerjaan yang dinilai berguna
bagi masyarakat luas, seperti
memperbaiki jalan,
saluran air, atau menanam pohon
jarak. Mereka
melakukannya
secara
bergantian. Untuk mejalankan tugas tersebut dengan baik, maka dibentuklah tonarigumi (rukun tetangga) untuk memobilisasi massa dengan efektif.
Sementara itu, komunikasi di Indonesia mengalami kesulitan baik komunikasi
antar pulau maupun komunikasi dengan dunia luar,karena semua
saluran komunikasi dikendalikan oleh Jepang. Semua
nama-nama kota yang menggunakan bahasa Belanda diganti dengan Bahasa Indonesia,
seperti Batavia menjadi Jakarta dan Buitenzorg menjadi
Bogor. Sementara itu, untuk mengawasi karya para seniman agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang,
maka didirikanlah pusat kebudayaan pada tanggal 1 April 1943
di Jakarta,
yang bernama Keimun Bunka Shidosho.
Jepang yang
mula-mula disambut dengan senang hati, kemudian berubah
menjadi kebencian. Rakyat bahkan
lebih benci pada pemerintah Jepang daripada pemerintah Kolonial Belanda. Jepang
seringkali bertindak
sewenang-wenang. Seringkali rakyat yang tidak bersalah ditangkap, ditahan, dan disiksa. Kekejaman itu dilakukan oleh
kempetai (polisi militer Jepang).
Pada masa pendudukan Jepang banyak
gadis
dan
perempuan
Indonesia
yang ditipu oleh Jepang
dengan dalih untuk bekerja sebagai perawat atau
disekolahkan, tetapi ternyata hanya
dipaksa untuk melayani para kompetai.
Para gadis dan perempuan tersebut
di sekap dalam kamp-kamp yang tertutup sebagai
wanita
penghibur. Kamp-kamp tersebut dapat ditemukan di Solo, Semarang,
Jakarta, dan Sumatera
Barat.
c. Pendidikan
Pada masa
pendudukan Jepang,
keadaan pendidikan
di Indonesia
semakin memburuk. Pendidikan tingkat
dasar
hanya
satu,
yaitu pendidikan enam tahun.
Hal itu sebagai politik
Jepang untuk memudahkan pengawasan. Para pelajar wajib
mempelajari bahasa Jepang. Mereka juga
harus mempelajari
adat istiadat Jepang dan lagu
kebangsaan Jepang,
Kimigayo, serta gerak
badan sebelum pelajaran dimulai. Bahasa Indonesia digunakan sebagai
bahasa pengantar di
semua sekolah
dan dianggap sebagai mata pelajaran wajib.
Sementara
itu, Perguruan Tinggi di
tutup pada
tahun 1943. Beberapa
perguruan tinggi yang dibuka
lagi adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta
dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung.
Jepang juga membuka akademi pamong praja (Konkoku Gakuin) di
Jakarta, serta Perguruan
Tinggi Hewan di Bogor.
Pada
saat
itu,
perkembangan perguruan tinggi benar-benar mengalami kemunduran.
Satu hal keuntungan pada masa Jepang adalah
penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Melalui sekolah-sekolah itulah Jepang melakukan indoktrinisasi. Menurut Jepang, pendidikan kader-kader dibentuk untuk memelopori dan melaksanakan konsepsi kemakmuran Asia Raya. Namun, bagi
bangsa Indonesia tugas berat itu merupakan persiapan
bagi pemuda- pemuda terpelajar untuk mencapai kemerdekaan.
Para pelajar juga dianjurkan
untuk masuk militer. Mereka
diajarkan heiho atau sebagai pembantu prajurit.
Pemuda-pemuda juga dianjurkan masuk
barisan seinenden dan
keibodan
(pembantu polisi). Mereka dilatih
baris berbaris dan perang meskipun hanya bersenjatakan kayu. Dalam seinenden mereka dijadikan barisan
pelopor atau suisintai. Barisan pelopor itu mendapat
pelatihan yang
berat. Latihan militer itu kelak sangat
berguna bagi bangsa kita.
d. Birokrasi dan Militer
Dalam bidang
birokrasi,
dengan dikeluarkannya UU no. 27 tentang Aturan
Pemerintah Daerah dan
UU No.28 tentang Aturan Pemerintah Syu dan Tokubetshu
Syi, maka berakhirlah pemerintahan sementara. Kedua aturan itu merupakan pelaksanaan struktur pemerintahan dengan datangnya
tenaga sipil dari Jepang di Jawa.
Mereka ditempatkan di
Jawa untuk melakukan tujuan reorganisasi Jepang,
yang menjadikan Jawa sebagai pusat perbekalan perang di wilayah selatan.
Sesuai dengan
undang-undang itu, seluruh kota di Jawa
dan
Madura, kecuali Solo dan Yogyakarta, dibagi atas syu,
syi, ken, gun, son,
dan
ku. Pembentukan provinsi yang dilakukan Belanda diganti
dan
disesuaikan dengan struktur
Jepang,
daerah pemerintahan yang tertinggi, yaitu
Syu. Meskipun luas wilayah Syu sebesar karesidenan,
namun fungsinya berbeda. Apabila residen merupakan pembantu
gubernur, maka Syu adalah pemerintah
otonomi dibawah shucokan yang berkedudukan sama
dengan gubernur. Pada pendudukan Jepang
juga dibentuk Chou Sangi yang fungsinya tidak
jauh berbeda dengan Volkstraad. Dalam Volkstraad masih dapat
dilakukan kritik pemerintah dengan bebas. Sementara chou sangi
tidak dapat melakukan hal itu. Pada masa
pendudukan Jepang, rakyat Indonesia
mendapatkan banyak manfaat dalam bidang
militer. Mereka mendapat kesempatan untuk berlatih militer. Mulai dari
dasar-dasar militer, baris berbaris, latihan menggunakan senjata, hingga
organisasi militer, dan latihan perang. Melalui propagandanya, Jepang berhasil
membujuk penduduk untuk menghadapi sekutu. Karena
itulah mereka melatih menduduk dengan latihan-latihan
militer. Bekas pasukan Peta itulah yang menjadi kekuatan inti Badan Keamanan
Rakyat
(BKR), yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan
sekarang dikenal
dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
B.
Janji kemerdekaan yang diberikan Jepang kepada Indonesia
Pada tahun 1944, Jepang terdesak, Angkatan Laut Amerika Serikat berhasil merebut kedudukan penting Kepulauan Mariana, sehingga
jalan menuju Jepang semakin terbuka. Jenderal Hedeki
Tojo pun kemudian digantikan oleh Jenderal Jiniaki Kaiso sebagai perdana menteri. Angkatan udara Sekutu
yang di Morotai pun mulai mengadakan
pengeboman atas kedudukan Jepang di Indonesia. Rakyat mulai kehilangan kepercayaannya terhadap Jepang dalam melawan Sekutu. Sementara itu Jenderal Kiniaki Kaiso
memberikan janji kemerdekaan (September 1944). Sejak itulah Jepang memberikan izin kepada rakyat
Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang Hinomaru.
Lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Sejak itu pula
Jepang mulai mengerahkan tenaga rakyat Indonesia untuk pertahanan. Mereka
disiapkan untuk menghadapi musuh. Pada saat itu suasana kemerdekaan terasa
semakin dekat. Selanjutnya, Letnan Jenderal Kumakici Harada mengumumkan
dibentuknya Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Badan itu dibentuk untuk menyelidiki dan
mengumpulkan bahan-bahan penting tentang ekonomi, politik, dan tatanan
pemerintahan sebagai persiapan kemerdekaan Indonesia. Badan itu diketuai oleh
Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, R.P Suroso sebagai wakil ketua merangkap
kepala Tata Usaha dan seorang Jepang sebagai wakilnya TUsaha, yaitu Masuda
Toyohiko dan Mr. R. M. Abdul Gafar Pringgodigdo. Semua anggotanya terdiri dari
60 orang dari tokoh-tokoh Indonesia, ditambah tujuh orang Jepang yang tidak
punya suara.
Sidang BPUPKI dilakukan dua tahap, tahap pertama berlangsung pada 28 Mei
1945 sampai 1 Juni 1945. Sidang pertama tersebut dilakukan di Gedung Chou Shangi In di Jakarta yang sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Pada masa penjajahan Belanda gedung ini digunakan sebagai gedung Volksraad. Meskipun
badan itu dibentuk
oleh pemerintah
militer Jepang, jalannya persidangan baik wakil ketua maupun anggota istimewa dari kebangsaan Jepang tidak pernah
terlibat
dalam
pembicaraan persiapan
kemerdekaan. Semua hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemerdekaan Indonesia merupakan urusan pemimpin
dan anggota dari Indonesia.
Pada pidato sidang
BPUPKI,Radjiman menyampaikan pokok persoalan
mengenai Dasar Negara
Indonesia yang
akan
dibentuk. Pada
sidang
tahap kedua yang
berlangsung dari tanggal 10-11 Juni 1945,
dibahas
dan dirumuskan tentang Undang-Undang Dasar. Dalam kata pembukaannya
Rajiman Wedyodiningrat meminta
pandangan kepada
para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Orang-orang yang membahas mengenai dasar negara adalah
Muhammad Yamin, Supomo, dan
Sukarno.
Dalam sidang pertama, Sukarno mendapat kesempatan berbicara dua kali, yaitu
tanggal 31 Mei dan 1 Juni 1945. Namun pada saat itu, seperti
apa yang disampaikan oleh
Radjiman, selama dua hari berlangsung
rapat, belum
ada yang menyampaikan pidato tentang dasar negara. Menanggapi hal itu, pada tanggal 1 Juni pukul 11.00 WIB, Sukarno menyampaikan pidato pentingnya.
Pada saat itu, Gedung Chuo Shangi In mendapat penjagaan
ketat dari tentara Jepang.
Sidang
saat
itu dinyatakan tertutup, hanya beberapa wartawan dan orang
teertentu yang diizinkan masuk. Dalam pidatonya, Sukarno mengusulkan dasar-dasar negara. Pada mulanya Sukarno mengusulkan Panca Dharma. Nama Panca Dharma
dianggap tidak tepat, karena
Dharma berarti
kewajiban, sedangkan yang dimaksudkan adalah dasar. Sukarno kemudian meminta
saran pada seorang
teman,
yaitu Muh. Yamin yang merupakan ahli bahasa, selanjutnya
dinamakan Pancasila. Sila artinya azas atau
dasar, dan di atas kelima dasar itu didirikan
Negara Indonesia, supaya
kekal dan abadi.
Pidato Sukarno itu mendapat sambutan
sangat meriah, tepukan tangan para peserta, suatu sambutan yang belum
pernah
terjadi selama persidangan BPUPKI. Para
wartawan mencatat sambutan yang diucapkan Sukarno
itu dengan cermat. Cindy
Adam, penulis buku autobiografi
Sukarno, menceritakan bahwa ketika ia diasingkan
di Ende, Flores (saat ini menjadi Propinsi Nusa Tenggara Timur) pada tahun 1934-1937,
Sukarno sering merenung tentang
dasar negara Indonesia Merdeka, di bawah pohon sukun.
Pada kesempatan
tersebut
Ir. Sukarno juga menjadi
pembicara kedua.
Ia mengemukakan tentang lima dasar negara. Lima dasar itu
adalah (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau
Peri Kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pidato itu kemudian dikenal dengan Pancasila .
Sementara
itu Muh.Yamin dalam
pidatonya juga
mengemukakan Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia. Menurut Yamin ada lima
azas, yaitu ( 1) Peri Kebangsaan,
(2) Peri Kemanusian, (3) Peri Ketuhanan,
(4) Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, sebelum sidang pertama berakhir BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri
dari sembilan orang. Pembentukan panitia sembilan
itu bertujuan
untuk merumuskan tujuan dan maksud didirikannya Negara Indonesia. Panitia
kecil itu terdiri
atas,
Ir. Sukarno, Drs Muh.
Yamin,
Mr.
Ahmad Subardjo, Mr. A.A Maramis,
Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan
Abikusno Cokrosuyoso. Panitia kecil itu menghasilkan
rumusan yang menggambarkan maksud
dan
tujuan
Indonesia
Merdeka. Kemudian disusunlah rumusan
bersama
dasar
negara
Indonesia Merdeka
yang kita kenal dengan Piagam Jakarta.
C.
Terbentuknya PPKI
BPUKPI kemudian dibubarkan setelah tugas-tugasnya selesai.
Selanjutnya dibentuklah Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus
1945. Badan
itu beranggotakan 21 orang, yang
terdiri dari 12 orang wakil dari Jawa, tiga
orang
wakil dari Sumatera, dan dua orang dari Sulawesi
dan masing-masing satu orang dari Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan golongan penduduk Cina, ditambah enam orang
tanpa
izin
dari pihak
Jepang. Panitia inilah yang kemudian mengesahkan
Piagam Jakarta sebagai pendahuluan dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, 18 Agustus 1945.
D.
Jepang kalah dari sekutu
Bom atom yang diledakkan di dua kota di Jepang yakni Hirosima
dan Nagasaki menyebabkan ratusan ribu penduduk Jepang meninggal dunia dan ratusan
ribu lainnya mengalami kecacatan. Kerugian material tidak
terhitung jumlahnya.
Bahkan sampai sekarang dampak terjadinya bom atom masih
dirasakan masyarakat Jepang. Kerusakan dan dampak korban
yang sangat mengerikan tersebut
mendorong masyarakat dunia sepakat untuk
tidak menggunakan senjata tersebut dalam berbagai peperangan. Dua bom atom tersebut telah meluluhlantakkan kota
Hiroshima dan Nagasaki.
Coba
kamu
bayangkan bagaimana
seandainya
ada 1000 bom atom yang diledakkan?
Dapat dipastikan bahwa akan
terjadi kiamat, karena semua makhluk di dunia
meninggal dunia.
Siapa yang menjatuhkan kedua bom atom tersebut? Amerika Serikat yang menjatuhkan
kedua bom atom pada dua kota di Jepang
pada
tanggal
6 dan 9 Agustus 1945.
Mengapa Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Jepang? Perang
Dunia II yang berkecamuk sejak tahun 1939 telah
menyebabkan kedua kelompok yakni Sekutu dan negara-negara fasis
saling menyerang dengan menggunakan senjata pemusnah dan kerusakan massal. Korban dan kerugian kedua belah pihak tidak terhitung jumlahnya. Jutaan manusia
meninggal
dunia
akibat Perang Dunia II tersebut. Sebagian besar dari mereka adalah masyarakat
sipil
yang bukan merupakan tentara
perang.
Keinginan Amerika untuk segera menghancurkan kekuatan
Jepang dilakukan dengan mengirimkan pesawat pembawa bom atom. Pada tanggal
6 Agustus
1945, bom atom pertama diledakkan di kota Hirosihma, sementara pada tanggal 9 Agustus 1945 bom atom diledakan di kota Nagasaki.
Digambarkan oleh masyarakat yang selamat
di kedua
kota tersebut, bahwa
ledakan
bom atom seperti gunung api yang jatuh
ke bumi. Tiba-tiba langit terang seperti ada kilat,
disusul berbagai benda
berhamburan terbang. Bersamaan itu berbagai makhluk
hidup meregang nyawa,
kehilangan
anggota badan,
bahkan hancur
berkeping-keping. Dua kota Jepang luluh lantak.
Kehancuran Kota Hiroshima dan Nagasaki memukul
perasaan bangsa Jepang. Mereka
tidak
dapat menutup mata, bahwa
Sekutu lebih unggul dalam persenjataan. Apabila perang
dilanjutkan, Jepang akan lebih hancur. Akhirnya
Jepang memutuskan untuk mengakhiri perang
dunia
dengan
melakukan penyerahan kepada Sekutu
tanpa syarat. Penyerahan Jepang
kepada Sekutu
pada tanggal 15 Agustus
1945
inilah yang
menandai berakhirnya Perang Dunia (PD) II. Sebenarnya tanda-tanda kekalahan
Jepang
dalam PD II sudah terlihat sejak tahun 1943 dengan berhasil direbutnya beberapa wilayah oleh Sekutu.
Pengeboman Hiroshima
dan Nagasaki merupakan faktor pemicu Jepang harus menyerah.
Bagaimana kondisi bangsa
Indonesia pada saat Jepang kalah dengan Sekutu?
Sejak semakin terjepit
dalam kekalahan, Jepang terpaksa
memberi janji kemerdekaan kepada
bangsa
Indonesia. Komando Tentara Jepang wilayah Selatan, pada
bulan Juli 1945
menyepakati dan memberikan kemerdekaan Indonesia tanggal 7 September
1945.
Pada tanggal 7 Agustus
1945, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang tugasnya
melanjutkan pekerjaan BPUPKI yang diketuai
oleh Ir. Sukarno
dengan wakil Drs. Moh. Hatta.
Panitia persiapan atau PPKI itu beranggotakan 21
orang dan semuanya
orang
Indonesia yang berasal
dari berbagai daerah.
Jawa 12 wakil
WakilSumatra 3 wakil
Sulawesi
2 wakil
Wakil Kalimantan 1 wakil
Wakil Sunda Kecil 1 wakil
Wakil Maluku 1 wakil
Wakil dan golongan penduduk Cina 1 wakil
Jenderal Terauchi pada tanggal 9 Agustus
1945 memanggil Sukarno, Moh. Hatta,
dan
Rajiman Wedyodiningrat untuk pergi ke Dalat, Saigon. Saigon
adalah salah satu pusat tentara Jepang. Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jenderal Terauchi mengucapkan selamat kepada Sukarno dan Moh.
Hatta sebagai ketua dan wakil ketua PPKI. Kemudian Terauchi menegaskan bahwa
Jepang akan menyerahkan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Sukarno,
Moh. Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat pulang kembali ke Jakarta
pada tanggal 14 Agustus.
Pada masa-masa inilah terjadi peristiwa yang dramatis di wilayah Indonesia.
Walaupun alat komunikasi pada masa tersebut dikuasai Jepang, namun para tokoh
perjuangan berhasil mengakses berbagai informasi dunia dengan berbagai cara. Radio sebagai alat yang paling
berperan pada masa tersebut
telah disegel oleh Jepang. Siaran radio sudah lama menjadi kekuasaan Jepang, untuk
menerima siaran
radio luar negeri
pun masyarakat Indonesia tidak diizinkan. Hal ini disebabkan oleh ketakutan Jepang apabila bangsa
Indonesia mengetahui perkembangan perang yang menunjukkan Jepang
semakin terjepit. Namun,
para tokoh pergerakan tidak kurang akal.
Mereka berhasil menyembunyikan beberapa radio
gelap
yang
dapat digunakan untuk mendengarkan berbagai siaran radio
luar negeri seperti
BBC London.
E.
Proses penculikan yang terjadi terhadap soekarno-hatta
Hari-hari menjelang
tanggal
15 Agustus
1945 merupakan hari yang menegangkan
bagi
bangsa Jepang
dan bangsa
Indonesia. Bagi bangsa Jepang,
tanggal
tersebut merupakan
titik akhir nyali mereka dalam
melanjutkan PD II. Menyerah
kepada Sekutu adalah pilihan yang
sangat pahit tetapi harus
dilakukan. Bagi bangsa Indonesia, tanggal tersebut justru menjadi kesempatan baik
untuk
mempercepat proklamasi
kemerdekaan. Inilah yang menjadi pemikiran utama para pemuda atau sering disebut
Golongan Muda
kaum pergerakan Indonesia. Para pemuda berpikir, bahwa menyerahnya Jepang kepada Sekutu,
berarti di Indonesia sedang kosong
kekuasaan. Proklamasi dipercepat adalah pilihan yang tepat.
Para pejuang terutama kaum muda yang
melancarkan gerakan “bawah tanah” segera mengetahui berita penyerahan Jepang itu. Para pemuda
mendesak para tokoh senior untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Sutan Syahrir yang merupakan tokoh pemuda telah mengetahui
berita penyerahan Jepang kepada Sekutu
dari siaran radio. Oleh karena itu, ia
segera menemui Moh. Hatta di kediamanya. Syahrir mendesak agar Sukarno dan Moh. Hatta segera memerdekakan Indonesia. Namun, ternyata Sukarno
dan Moh. Hatta belum bersedia, mereka akan
mengonfirmasi terlebih dulu mengenai kebenaran
berita tersebut.
Mengapa Sukarno dan Hatta
menolak segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Sebagai tokoh-tokoh yang demokratis, tahu hak dan kewajiban selaku pemimpin, kedua
tokoh itu berpendapat bahwa untuk memproklamasikan Kemerdekaan
Indonesia, perlu dibicarakan dengan
PPKI agar tidak
menyimpang dari
ketentuan. Akan
tetapi, para pemuda
berpendapat bahwa proklamasi
Kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan oleh kekuatan bangsa sendiri, bukan oleh PPKI. Menurut para pemuda,
PPKI itu buatan Jepang.
Hari Rabu tanggal
15 Agustus
1945 sekitar pukul 22.00 WIB, para pemuda yang
dipimpin
Wikana, Sukarni, dan Darwis
datang di rumah Sukarno di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Wikana
dan Darwis
memaksa Sukarno
untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Para pemuda mendesak
agar proklamasi
dilaksanakan paling lambat tanggal
16 Agustus 1945. Sukarno marah,
sambil menunjuk lehernya ia berkata, “Ini
goroklah leherku,
saudara boleh membunuh saya
sekarang juga. Saya
tidak bisa melepas
tanggung jawab saya
sebagai ketua PPKI, karena
itu akan saya
tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok”. Ketegangan
terjadi di rumah Sukarno. Hal ini juga disaksikan antara lain oleh Moh. Hatta,
dr. Buntaran, Ahmad Subarjo,
dan lwa Kusumasumantri.
Para pemuda gagal memaksa Sukarno
dan
golongan tua
untuk
segera memproklamasikan kemerdekaan. Para
pemuda malam
itu
sekitar
pukul 24.00 tanggal
15 Agustus mengadakan pertemuan
di Jl Cikini 71 Jakarta. Para pemuda yang hadir, antara lain Sukarni, Yusuf Kunto, Chaerul Saleh, dan Shodanco Singgih. Mereka sepakat untuk
membawa Sukarno dan Moh. Hatta
ke luar kota. Tujuannya,
agar kedua tokoh
ini
jauh dari pengaruh Jepang dan bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Para pemuda juga
sepakat menunjuk Shodanco Singgih untuk memimpin pelaksanaan rencana tersebut.
Untuk melaksanakan tugas,
Singgih mendapat
pinjaman beberapa perlengkapan dari markas Peta di Jaga
Monyet.
Waktu itu yang piket di markas Peta adalah Latif Hendraningrat. Singgih disertai pengemudi, Sampun
dan penembak mahir Sutrisno
bersama Sukarni, Wikana, dan
dr. Muwardi menuju ke rumah Moh.Hatta.
Singgih
secara singkat minta
kesediaan
Moh. Hatta untuk
ikut ke luar kota. Moh.
Hatta menuruti kehendak para pemuda itu.
Rombongan kemudian menuju ke rumah Sukarno.
Tiba di rumah Sukarno, Singgih meminta agar
Sukarno ikut pergi ke luar kota saat itu juga. Sukarno
setuju,
asal Fatmawati, Guntur (waktu
itu berusia sekitar
delapan bulan)
dan Moh. Hatta ikut serta. Tanggal 16 Agustus
sekitar pukul 04.00 pagi rombongan Sukarno, Moh. Hatta, dan para
pemuda menuju Rengasdengklok.
Dipilih daerah Kawedanan Rengasdengklok, karena daerah itu terpencil yaitu 15 km dari Kedunggede, Karawang. Selain
itu, juga ada hubungan baik antara Daidan Peta Purwakarta
dan Daidan Jakarta,
sehingga
dari segi keamanan terjamin. Pagi hari rombongan Sukarno sampai di Rengasdengklok. Mereka diterima oleh Shodanco Subeno
dan Affan. Mereka ditempatkan di
rumah Kie Song yang simpati
pada perjuangan bangsa Indonesia.
Sehari di Rengasdengklok,
ternyata gagal memaksa Sukarno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia lepas dari campur
tangan Jepang. Namun, ada
gelagat yang
ditangkap oleh Singgih bahwa Sukarno bersedia
memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia kalau
sudah
kembali
ke Jakarta.
Melihat tanda-tanda bahwa Sukarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, maka sekitar
pukul
10.00
bendera Merah
Putih dikibarkan di halaman Kawedanan Rengasdengklok.
Jakarta berada
dalam keadaan tegang
karena tanggal 16 Agustus 1945 seharusnya diadakan pertemuan
PPKI, tetapi
Sukarno dan
Moh. Hatta
tidak ada di tempat. Ahmad Subarjo
segera mencari kedua tokoh
tersebut. Akhirnya setelah
terjadi kesepakatan
dengan Wikana, Ahmad Subarjo
ditunjukkan dan
diantarkan ke Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto.
Ahmad Subarjo tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB untuk menjemput Sukarno dan rombongan. Kecurigaan pun menyelimuti perasaan
para
pemuda yang bertemu dengan Ahmad Subarjo. Akhirnya Ahmad
Subarjo memberikan jaminan. Apabila besok (tanggal 17 Agustus) paling lambat pukul 12.00, belum
ada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
taruhannya nyawa
Ahmad Subarjo. Dengan jaminan itu, maka Shodanco Subeno
mewakili para pemuda
mengizinkan Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, dan rombongan kembali ke Jakarta. Petang
itu juga Sukarno
dan
rombongan kembali
ke
Jakarta. Dengan demikian berakhirlah peristiwa Rengasdengklok.
F.
Perumusan teks proklamasi hingga pagi
Rombongan kemudian menuju kediaman Nishimura di Jakarta. Kepada
Nishimura, Sukarno menyampaikan rencana rapat persiapan pelaksanaan kemerdekaan
Indonesia. Nishimura menolak memberi bantuan dengan alasan sudah mendapat perintah dari pihak
Serikat untuk tidak
mengubah status dan keadaan di Indonesia. Dengan jawaban tersebut
Sukarno berkesimpulan bahwa tidak mungkin lagi mengharap bantuan Jepang.
Rombongan Sukarno segera kembali ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol
No. 1. Para tokohtokoh nasionalis berkumpul di rumah Maeda untuk merumuskan
teks proklamasi. Di rumah Maeda, hadir para anggota PPKI, para pemimpin pemuda,
para pemimpin pergerakan, dan beberapa anggota Chuo Sangi In yang
ada di Jakarta. Mereka berjumlah 40 - 50 orang. Rumah Laksamana Maeda itu
dianggap aman dari kemungkinan gangguan yang sewenang-wenang dari
anggota-anggota Rikugun (Angkatan Darat Jepang/Kampeitai) yang
hendak menggagalkan usaha bangsa Indonesia
untuk
mengumumkan
Proklamasi
Kemerdekaannya.
Oleh karena Laksamana Maeda adalah Kepala Perwakilan Kaigun, maka rumahnya
merupakan extra-territorial, yang harus dihormati oleh
Rikugun. Selain itu, Laksamana
Maeda sendiri memiliki
hubungan yang akrab dengan para pemimpin
bangsa
Indonesia, dan
Maeda
juga simpatik terhadap gerakan kemerdekaan
Indonesia,
maka
rumah beliau direlakan
menjadi tempat pertemuan
para pemimpin bangsa Indonesia
untuk
berunding dan
merumuskan naskah/teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
Setelah
tiba di Jl. Imam Bonjol No. 1, lalu
Sukarno dan Moh.
Hatta diantarkan Laksamana Maeda menemui Gunseikan Mayor Jenderal Hoichi Yamamoto (Kepala Pemerintahan Militer Jepang). Akan
tetapi Gunseikan menolak menerima
Sukarno-Hatta pada tengah malam. Dengan ditemani
oleh Maeda, Shigetada Nishijima
dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penterjemah, mereka pergi menemui Somubuco Mayor
Jenderal Otoshi Nishimura (Direktur/Kepala Departemen Umum Pemerintahan Militer Jepang), dengan maksud
untuk
menjajaki sikapnya terhadap pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
Pada pertemuan tersebut tidak dicapai kata sepakat antara Sukarno-Hatta di satu pihak
dengan Nishimura
di
lain
pihak.
Di satu pihak Sukarno-
Hatta bertekad untuk melangsungkan
rapat PPKI yang pada pagi hari tanggal
16 Agustus
1945 itu
tidak jadi diadakan karena
mereka dibawa ke Rengasdengklok. Mereka menekankan kepada Nishimura bahwa Jenderal
Besar Terauchi telah menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia kepada PPKI. Di lain pihak Nishimura
menegaskan garis kebijakan Panglima Tentara ke-XVI
di Jawa,
bahwa dengan
menyerahnya Jepang kepada Sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan
lagi mengubah status quo.
Berdasarkan garis kebijaksanaan
itu,
Nishimura
melarang Sukarno-Hatta
untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka
pelaksanaan
Proklamasi Kemerdekaan.
Sampailah Sukarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak
ada gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Mereka hanya berharap pihak Jepang supaya
tidak menghalang-
halangi pelaksanaan Proklamasi
oleh rakyat Indonesia
sendiri.
Setelah pertemuan itu, Sukarno dan Hatta kembali
ke rumah Maeda. Setelah berbicara sebentar dengan Sukarno, Moh. Hatta dan Ahmad Subarjo, Laksamana Maeda minta
diri untuk beristirahat dan mempersilakan para
pemimpin Indonesia berunding sampai puas di rumahnya. Di ruang makan
Maeda, dirumuskanlah naskah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Ketika peristiwa itu berlangsung Maeda tidak hadir, tetapi Miyoshi sebagai orang
kepercayaan Nishimura bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan
Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subarjo
membahas perumusan naskah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
Sukarno pertama kali menuliskan kata pernyataan
“Proklamasi”. Sukarno kemudian bertanya kepada Moh. Hatta dan Ahmad Subarjo.“Bagaimana
bunyi rancangan pada draf
pembukaan UUD? Kedua orang yang
ditanya pun tidak
ingat
persis. Ahmad Subarjo kemudian menyampaikan kalimat “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Moh. Hatta
menambahkan kalimat: “Hal-hal yang
mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan
dengan cara saksama dan dalam
tempoh yang sesingkat-singkatnya”. Sukarno menuliskan, “Jakarta, 17-8-’05 Wakil-wakil bangsa Indonesia”, sebagai penutup.
Pukul
04.00 WIB dini hari, Sukarno
minta
persetujuan dan
minta
tanda tangan kepada semua yang hadir sebagai
wakil-wakil bangsa Indonesia. Para pemuda menolak dengan alasan sebagian yang
hadir banyak yang menjadi kolaborator
Jepang. Sukarni
mengusulkan agar teks
proklamasi cukup ditandatangani dua orang tokoh,
yakni Sukarno dan Moh. Hatta, atas nama bangsa Indonesia. Usul Sukarni diterima. Dengan beberapa perubahan
yang telah disetujui, maka konsep itu kemudian diserahkan kepada
Sayuti Melik untuk diketik.
G.
Pembacaan proklamasi
Pada pukul 5 pagi tanggal 17 Agustus
1945,
para pemimpin dan pemuda
keluar dari rumah Laksamana Maeda dengan diliputi kebanggaan. Mereka
telah sepakat untuk
memproklamasikan kemerdekaan di
rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 10 pagi. Sebelum pulang, Moh. Hatta berpesan kepada B.M. Diah untuk memperbanyak teks Proklamasi dan menyiarkannya
ke seluruh dunia.
Sementara
itu, para
pemuda tidak
langsung pulang, mereka
melakukan kegiatan-kegiatan untuk penyelenggaraan pembacaan naskah
Proklamasi. Masing-masing kelompok
pemuda mengirim kurir untuk
memberitahukan kepada masyarakat bahwa saat Proklamasi telah tiba. Semua alat komunikasi
digunakan untuk penyambutan Proklamasi. Pamflet, pengeras suara, dan mobil-mobil dikerahkan
ke segenap penjuru kota.
Tanpa diduga, pada
hari itu barisan
pemuda berbondong-bondong menuju
Lapangan Ikada.
Para pemuda datang ke tempat itu, karena informasi yang disampaikan
dari mulut ke mulut
bahwa
Proklamasi
akan diselenggarakan
di Lapangan Ikada. Rupanya
Jepang telah
mencium kegiatan para pemuda malam itu,
sehingga mereka berusaha untuk menghalang-halanginya.
Lapangan Ikada telah dijaga oleh Pasukan Jepang yang
bersenjata lengkap. Ternyata Proklamasi
tidak diselenggarakan di Lapangan
Ikada, melainkan di Pegangsaan Timur No. 56.
Pada pagi hari itu
juga, rumah Sukarno dipadati
oleh sejumlah massa.
Untuk menjaga keamanan upacara
pembacaan Proklamasi,
dr. Muwardi meminta Latief
Hendraningrat beserta beberapa
anak buahnya untuk
berjaga-
jaga di sekitar
rumah
Sukarno. Sementara itu, Walikota
Jakarta, Suwiryo memerintahkan kepada Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon.
Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada
S.
Suhud untuk menyiapkan tiang
bendera. S. Suhud
mendapatkan bendera Merah Putih dari Ibu Fatmawati. Bendera dijahit Ibu Fatmawati
sendiri dan ukurannya
sangat
besar
(tidak standar). Bendera Merah
Putih yang
dijahit Fatmawati dikenal
dengan bendera pusaka. Sejak tahun
1969 tidak lagi dikibarkan dan diganti dengan bendera
duplikat.
Sejak pagi hari, sudah banyak orang berdatangan di rumah Sukarno di Jl.
Pegangsaan Timur No. 56. Tokoh-tokoh
yang
sudah
hadir, antara lain Mr. A. A. Maramis, dr. Buntaran Martoatmojo, Mr. Latuharhary, Abikusno
Cokrosuyoso, Otto Iskandardinata, Ki Hajar Dewantoro, Sam Ratulangie, Sartono, Sayuti Melik,
Pandu Kartawiguna, M. Tabrani, dr. Muwardi,
Ny. SK. Trimurti, dan
AG. Pringgodigdo. Diperkirakan yang hadir pada pagi
itu seluruhnya ada 1.000
orang.
Acara yang direncanakan pada upacara bersejarah itu adalah; pertama pembacaan teks proklamasi;
kedua, pengibaran bendera
Merah Putih; dan ketiga, sambutan walikota Suwiryo dan dr. Muwardi
dari keamanan. Hari Jumat Legi, tepat
pukul 10.00 WIB,
Sukarno dan Moh.
Hatta
keluar
ke serambi depan, diikuti oleh Ibu Fatmawati. Sukarno dan Moh.
Hatta maju beberapa langkah.
Sukarno mendekati mikrofon untuk membacakan teks proklamasi.
Acara berikutnya adalah
pengibaran bendera Merah Putih yang
dilakukan oleh Latief
Hendraningrat dan S. Suhud.
Bersamaan dengan naiknya bendera Merah Putih,
para hadirin secara
spontan menyanyikan lagu Indonesia
Raya tanpa ada
yang memimpin.
Setelah itu, Suwiryo memberikan
sambutan dan kemudian disusul sambutan dr. Muwardi.
Sekitar
pukul
11.00 WIB,
upacara telah selesai.
Kemudian dr. Muwardi
menunjuk
beberapa anggota Barisan Pelopor untuk menjaga keselamatan Sukarno dan Moh. Hatta.
- Makna
proklamasi Indonesia
1.
Sebagai puncak perjuangan bangsa indonesia.
2.
Menjadi pernyataan de facto.
3.
Menaikkan martabat bangsa.
4.
Dapat memulai perjuangan sebagai negara baru.
5.
Tonggak sejarah negara indonesia.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dengan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
proklamasi kemerdekaan tidak didapatkan dengan kemudahan atau pemberian dari
negara penjajah, justru melalui berbagai perjuangan dan berbagai pengorbanan
ribuan juta jiwa rakyat Indonesia. Jadi sebagai rakyat yang hidup di negara
merdeka seperti sekarang ini patutlah kita untuk menghargai jasa para pahlawan
serta mempertahankannya.
- Saran
Semoga dengan mempelajari kompetensi ini pelajar indonesia lebih baik
lagi dalam mengambil keputusan.
Sebaiknya kita sebagai Pelajar menjadikan sejarah dimasa lalu untuk patokan
dalam mengambil keputusan di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Paket BSE sejarah Semester 2 diproduksi oleh
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan RI